Pages

Minggu, 25 Juli 2010

"story collection": Karya Qw

"story collection": Karya Qw

Minggu, 22 November 2009

Karya Qw



Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Maaf sbelumnya, ini hnya sbuah blog biasa mlik orang2 yg ingin menyalurkan bakatnya di cyber world. Haha :D
Mohon reader brsedia bwt ngomment cerpen2 kita.. J
makasih :)
salam kawan -writer-


Menuju Hati Rembulan

Purnama menyapa di malam pertama bulan Desmber. Ada setetes air menggantung di ujung bunga kamboja. Beceknya tanah pemakaman begitu akrab bagi kaki tak beralas milik Ranna. Ini malam kedua seusai prosesi pemendaman mayat tak berharga di tanah depannya. Lutut tertekuk mencium harumnya sisa-sisa bunga tabur yang begitu layu. Tetes bening dari kelopak mata menambah basahnya gundukan tanah bernisan itu. Lampu di ujung pemakaman tak cukup menerangi malamnya. Untung saat ini purnama datang. Menenangkan dirinya yang tak kunjung mereda kesedihannya. Dan purnama masih terus menemani bersama bau basah tanah.

Jika ada seseorang yang datang ke pemakaman itu malam ini, pasti dia sudah memintanya tuk menemani menghabiskan malam berdarahnya. Dan andai Bundanya datang tuk menghapus air mata miliknya, pasti sudah sedari tadi ditumpahkan semuanya. Dan sekali lagi, andai. Andai saja sosok mayat tak berguna yang sedari kemarin terpendam di perut bumi bersama dua nisan putih setianya, dapat dibangunkan dengan cara apapun, pasti sudah sedari tadi dimintainya janji yang dia ucapkan sebelum menghadap Tuhan. Janji bahwa dia akan terus hidup tuk menemani sepinya malam Desember.

Dan dia pasti juga akan diminta pertanggung jawaban atas semua yang telah dilakukan pada rahim Ranna. Pertanggung jawaban atas nyawa manusia yang kini berada di perut Ranna. Bersama tumpahan air matanya, dia meminta pada Tuhan, agar membangunkan sosok manusia di dalam lahat. Dibelai angin, ditumpahkannya seluruh keluh kesah di malam dingin tak bermakna ini.

Memeluk batang kamboja terus saja dilakukannya. Teriak histerisnya terus saja memecah keheningan malam. Memekikkan telinga siapa saja yang mendengar. Tapi sayang, malam ini tak satupun manusia mendengar seluruh teriaknya. Hanya dendang serangga malam yang menyahut.

“Kenapa manusia selalu saja berakhir dengan mati? Tak bisakah Tuhan mengerti anak di rahimku ini?” tangis Ranna semakin menjadi.

Purnama malam kian pucat. Mungkin karena mendengar jerit tangis pilu Ranna. Dan untuk yang kesekian kali mendengarkan kisah pedih Ranna. Bersama sosok lelaki yang kini tengah terbaring di bawah gundukan tanah merah basah. Seorang lelaki yang telah dua tahun ini menjalin hubungan spesial dengan Ranna.

* * *

“Ran, jika nanti orangtua kita tak merestui pernikahan kita, apa yang kira-kira akan kau lakukan?” tanya lelaki yang dipanggilnya Ardi, pada suatu malam yang tak kalah kelam dengan malam ini.

Tangan Ranna semakin menggenggam erat tangan Ardi. Bukan kata-kata yang dikeluarkan tuk menjawab tanyanya, tapi justru tangisan yang mempunyai makna tersirat di dalamnya. Kepala tersandar di bahu tegak lelaki yang sangat disayanginya. Tangan mereka berdua masih berpegangan erat. Semakin erat. Dan tangan kanan Ardi mengusap kepala Ranna serta menghapus tetes bening di pipinya.

Rembulan yang kala itu berupa sabit, hanya tersenyum simpul melihat kisah percintaan dua anak manusia itu. Mungkin dalam hatinya, sabit telah menduga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ketika lelaki bertanya hal itu kepada kekasihnya. Salah satunya ialah, mereka harus menempuh jalan pintas yang telah dilakukan oleh banyak orang yang memiliki masalah sama.

Dan ketika Tuhan mengijinkan praduga sabit benar, Ranna harus berhadapan dengan amarah bundanya.

“Sudah bunda bilang, kamu jangan pernah pacaran sama laki-laki itu. Sejak awal hubungan kalian, bunda nggak merestui. Sekarang apa jadinya? Kamu sendiri yang menanggung itu. Bunda tahu, yang kamu lakukan itu, pasti semata-mata karena ingin bunda merestui pernikahan kalian, tapi sayang, Ranna! Sampai kapanpun bunda nggak akan mengijinkan kalian menikah. Sekalipun lelaki itu mempunyai tanggung jawab kepada anaknya!”

Mata Ranna tentu saja berkaca-kaca. Tapi ia tak kuat untuk menumpahkannya. Dia hanya melampiaskannya dengan tetesan-tetesan yang terus saja mengalir membasahi hati. Diluar jendela kamarnya, sabit hanya sanggup terkikik melihat apa yang ia duga akhirnya terjadi. Seperti yang selalu saja dialami anak-anak manusia yang lain.

Dan belum habis sampai disitu saja keputus asaan Ranna. Kaki memaksa untuk berlari menuju kekasihnya. Tangan kiri digunakan tuk menghapus kesedihan yang tak kunjung mereda dari kelopak mata. Sedangkan tangan kanannya, membawa semua pakaian yang bisa diambilnya. Pergi menjauh dari Bunda. Meski dia tak yakin itu adalah keputusan yang tepat. Diantara awan hitam, sabit masih saja tersenyum mendengar tangis Ranna disepanjang jalan, dibawah sorot lampu jalanan.

Rembulan menjadi sedih melihat deritanya. Di rumah sang kekasih, dia dipaksa untuk pergi. Melarikan diri bersama belahan jiwanya. Dia tak tahu apa yang ia bawa. Kebohongan sang kekasih, yang menjadikannya pelampiasan atas kekalahan pada cinta pertama. Dia dibawa oleh sang kekasih menuju hati rembulan. Disana mereka bercumbu, sejenak melupakan fananya dunia. Sejenak melupakan Bunda, sejenak melupakan anak dalam kandungannya.

Sejenak mereka menemukan ketenangan cinta. Meski perjalanan menuju hati rembulan masih terlalu jauh, tetapi aura keindahan dalam hati rembulan sudah terasa. Lama mereka menikmatinya, hingga seseorang yang datang bersama kedua sayapnya membuyarkan keindahan mereka.

Dalam perjalanan, terlepas eratan gandengan tangan. Ranna harus tinggal. Ardi terlebih dahulu pergi. Meninggalkannya bersama janin dalam kandungan. Meninggalkannya bersama air mata yang tak kunjung mereda. Tentu Ranna tidak terima. Ia mencoba mengejar kekasihnya. Tetapi sayang, jalan menuju hati Rembulan tertutup rapat untuknya. Hingga menggema suara yang memerintahkan untuk membawa anaknya dalam perjalanan keduanya. Menuju hati rembulan.

* * *

Malam kian pekat di pemakaman. Dan Ranna tak kunjung menyelesaikan kesedihannya. Tanpa seorang pun yang mendengar, dia terus saja menjerit kesetanan.

“Kau! Bangunlah! Anakmu disini menanti. Aku tak bisa hidup sendiri disini.” Kata-katanya bertebaran memenuhi malam di pemakaman. Mengusir keheningan yang sedari kemarin menetap disana.

Purnama malam ini tak kunjung bertindak. Dia hanya membisu menatap malangnya Ranna. Dia tak mampu melakukan apa-apa, kecuali setelah anak dalam perut Ranna dilahirkan. Disampaikannya keresahan rembulan melalui hembusan angin.

Ranna pun menyanggupi permintaan Purnama.

“Baiklah, aku akan melakukannya.”

Sejenak kemudian, dilangkahkan kaki penuh lumpur Ranna menuju ujung pemakaman. Berharap menemukan senjata tajam untuk membantunya memulai perjalanan menuju hati rembulan. Perjalanan yang sangat diharapkannya.

“Maafkan aku, nak. Waktumu dalam rahimku hanya cukup enam bulan saja. Kau harus ikut aku dan ayahmu menuju suatu tempat yang sangat indah. Disana kita bisa bermain bersama.” Ujarnya sembari mengelus perut buncitnya. Tersenyum pada anak di dalamnya.

Menganggap yang diajak bicara mendengar, dia mengambil apapun yang ada di depannya. Segera dilakukannya apa yang diperintahkan sang purnama. Darah membasahi malam di pemakaman. Merah pekat, menambah kekelaman malam. Mengusir kesendirian Ranna, dengan hadirnya sesosok manusia yang hanya bernyawa beberapa menit saja. Kemudian dia pergi. Menggandeng tangan Ranna.

Merekapun memulai perjalanan impian mereka. Menuju hati rembulan. Menyusul kesendirian ayah sang bayi disana.

“Di hati rembulan kita bisa menemukan ketenangan. Kata ayahmu, hati rembulan adalah teras nirwana.”

Ranna berujar pada bayi di sampingnya. Mereka saling bergandengan, memulai kebahagiaan abadi mereka. Menuju hati rembulan. ***


jombang, 30 Mei 2011



by : MeLh ^^


Tunggu Aku di Punggung Mentari

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false IN X-NONE X-NONE


Kala ini, terbitlah mentari keseribu. Saksi atas kisah-kisah masa lalu. Dari balik punggungnya, tampaklah seorang gadis muda menuruni kaki langit. Dengan rambut terurai dan senyum paksa yang menghias bibir, perlahan dia menginjakkan kaki ke bumi. Kemudian mulai menghambur bersama gadis berpakaian putih abu-abu yang lain. Sayang miliknya lebih bercahaya daripada yang lain. Berbeda. Perlahan dia melangkah, tersenyum pada gadis-gadis itu. Tapi senyumnya tak pernah terbalas. Karna sesungguhnya mereka tak melihat.

Hanya berlari-lari kecil yang dilakukannya bersama telapak kaki yang tak beralas. Dan ketika deru mesin kereta menyapa telinga, senyum bibirnya lagi mengembang. Paksa. Dilangkahkan kakinya menuju rel yang memanas karena gesekan dengan roda kereta. Sejenak dia duduk disana. Menikmati teduh pohon di sekitar rel. Seperti yang biasa dilakukannya bersama sang kekasih. Dulu.

Kaki tak beralas miliknya menapaki kerikil-kerikil sekitar rel. Sesekali dia tersenyum, hingga kereta selanjutnya datang dari arah yang berlawanan. Masih dibiarkan kakinya menjajaki besi rel. Kereta telah berlalu, sedang dirinya masih ada disana bersama senyum yang kian melebar. Seakan menemukan sesuatu yang telah lama tak dialaminya.

“Apa dulu mereka menemukan aku berpeluk dengan kekasihku?” tanyanya kemudian sembari menatap mentari. Kemudian dia mencari-cari. Kemungkinan tetes-tetes darah tersisa diantara kerikil-kerikil kecil.

“Ya, manis. Tapi kau tak bisa menemukan bekasnya. Waktu telah menghapusnya.”

“Apa waktu menghapus semuanya?”

“Tentu tidak. Dia masih menyisakannya di hati orang-orang yang menyayangimu.”

“Siapa itu?”

“Salah satunya adalah bundamu”

“Tidak, bunda tidak menyayangiku!” kini suaranya mengeras. Meski tak terdengar oleh siapapun.
“Coba kau ikuti kata hatimu. Pergilah kepada bundamu.”

Diapun terdiam sejenak. Merenungi kata-kata mentari. Mengingat kembali apa tujuannya kemari. Datang ke waktu yang seharusnya dia pergi. Bersama cahaya mentari dia beranjak pergi. Menggapai hati yang dulu hanya bisa ditemui lewat mimpi. Kini pintu harap terbuka lebar baginya. Terus dilalui tiap tapak jalan yang membentang. Terkadang dia ingat tempat-tempat yang ada di sekitarnya. Yang ditinggalkannya tepat setahun yang lalu. Senyumannya diperuntukkan tiap-tiap orang yang ditemui. Tapi tatapan mereka tak pernah menandakan bahwa mereka merasakan kehadirannya. Tak akan pernah. Karena dia bukanlah bagian dari mereka.

Pada sebuah rumah mewah dia menghentikan langkah. Diantara mobil-mobil elit dia berdiri. Merasakan kembali apa yang dirasakannya setahun yang lalu. Saat dirinya masih menjadi bagian dari rumah itu. Tanpa perlu mengetuk pintu, dia melangkah masuk. Tak jauh berbeda seperti saat terakhir dia ada disana.

Sebuah ruang tamu megah dengan lampu yang bersinar bagai berlian. Dan lukisan milyaran yang dibeli ayahnya di Eropa. Dengan seluruh perabot rumah lain yang bernilai jutaan. Entah darimana ayah mendapat biaya untuk membeli semua. Bukan urusannya. Dan kini kembali dirasakan kerinduan menyusup ke dada. Keinginan untuk memutar waktu kembali pada setahun yang lalu semakin menjadi. Tapi dia sadar bahwa itu tak akan mungkin terjadi.

Lain halnya dengan sebuah ruangan di lantai dua. Itulah ruangan miliknya. Dulu. Kini bukan lagi seperti yang pernah ditemuinya. Boneka panda sebesar pelukannya, beruang cokelat yang setia berbaring di samping tidurnya, kini tlah pergi entah kemana. Seiring dengan kepergian dirinya, semua yang dimilikinya pun musnah. Kini ruangan itu lebih layak dikatakan sebagai ruang seni. Foto-foto berukuran besar tertempel di dinding-dindingnya. Sebagian besar adalah potret dirinya. Dari usia yang masih belia, hingga terakhir usianya. Usia dimana anak-anak muda memulai kedewasaannya. Bersama pakaian putih abu-abu. Di ujung ruangan, ditemukannya karangan bunga turut berduka cita. Tertera tanggal setahun yang lalu. Disaat air mata mereka mengalir deras mengiringi kepergian dirinya.

Tanpa disadari pintu ruangan terbuka perlahan. Sesosok wanita paruh baya masuk. Seperti yang selalu dilakukannya, dilemparkan senyumannya itu pada wanita cantik di depan. Tapi untuk kali ini, tak seperti orang-orang lain. Wanita itu membalas senyumnya. Dengan sejuta kekaguman yang tampak dari raut mukanya. Matanya membelalak tak percaya.

“Angelina?” tanya wanita itu padanya.

“Bunda?” dia pun balik bertanya. Masih diingat benar kalau itulah bundanya.

“Bunda tak percaya kau akan datang. Ada apa, manis? Bunda yakin kau meninginkan sesuatu sehingga kau datang kemari.” Ujar wanita itu manis. Tulus.

“Aku hanya mencari kenangan masa laluku. Kupikir waktu telah menghapus semua, tapi ternyata tidak di hati bunda.” Ujarnya menunduk.

“Bunda tak akan melupakanmu. Meski terkadang masih sulit memaafkan kisah pedihmu, tapi Bunda telah menyadari bahwa ini tak sepenuhnya salahmu.” Suaranya semakin parau. Sedih.

“Akulah yang memang seharusnya meminta maaf pada bunda. Beruntung saat ini kita dipertemukan. Kumohon kau tulus memaafkanku.” Sunyi ruangan menghiasi. Menebarkan kesedihan di hati mereka.

“Ini tak sepenuhnya salahmu, sayang. Bunda tak pernah memperhatikanmu, sehingga kamu terjebak dalam cinta yang begitu fana.”

“Seandainya saat itu aku menuruti kata-kata bunda untuk tidak berpacaran dengan laki-laki itu...” kini tetes bening mulai menghias pipinya.

“Tak usah kau sesali lagi. Jika saat itu bunda tidak marah-marah kepadamu, saat tahu kau ternyata hamil dengan pacarmu, pasti dia tak mengajakmu mengakhiri hidup.”

“Ternyata aku salah. Kupikir itu adalah jalan terbaik untukku, untuknya, dan untuk bayi di kandunganku.” Wajahnya yang semula manis, kini tersembunyi di balik raut kesedihan yang terpancar.

“Sudalah sayang, tak usah kau sesali semua. Bunda akan selalu berdo’a agar tuhan bersedia memaafkan kesalahan putriku ini.” Kini tangan lembut Bunda ikut membelai helai rambutnya. Lembut. Dengan limpahan kasih sayang yang dicurahkan.

“Maafkan Angel, Bunda.” Ujarnya sambil mendongakkan wajah. Mencoba membalas tatapan mata bundanya.

“Tak ada yang pernah tahu akhir hidup manusia. Kau memang ditakdirkan untuk mengakhiri hidupmu dengan jalan seperti itu. Bunda yakin kau tak sepenuhnya salah. Kau bisa menjadi pelajaran bagi teman-temanmu yang lain.” Senyum Bunda kembali mengembang. Meski sedikit menampakkan semburat kesedihan.

“Kudengar, Jessica juga hamil dengan pacarnya. Betulkah itu, Bunda?” tanyanya tiba-tiba.

Bunda hanya mengagguk. Sedih.

“Pasti itu gara-gara aku. Semua gara-gara aku. Dia tak pernah tidak menirukan kelakuanku. Aku telah menjadi kakak yang salah bagi Jessi.”

“Ini juga salah bunda, sayang. Bunda yang tak pernah mengawasi pergaulan kalian. Tapi untuk kali ini bunda tak akan membiarkan Jessi mengalami akhir hidup sepertimu. Bunda telah menasihatinya untuk merawat bayi dalam rahimnya itu. Dan untung saja, pacarnya mau bertanggung jawab dengan menikahi Jessi kelak.”

Mereka terdiam sejenak. Hening menyusup kedalam. Menghambur bersama perasaan bahagia, rindu, dan sedih sekaligus.

“Bunda akan selalu berdo’a untukmu, sayang. Tenanglah dibalik cahaya mentari. Tunggu bunda disana. Sepertinya, dia telah menunggumu. Sebentar lagi dia akan kembali ke peraduan. Bunda yakin kau tak bisa menginap malam ini. Sekarang pergilah, inilah saatnya.” Ujar Bunda lembut.

Angel hanya mengangguk. Pelan. Berat baginya untuk pergi. Tapi siluet senja telah terlukis diatas sana. Memberi tanda padanya untuk segera kembali. Kembali ke alamnya.

Bayangannya mulai menjauh. Setelah mengucap salam perpisahan, dia melangkah pergi. Menuju ufuk barat yang dipenuhi dengan cahaya keemasan. Tepat di belakang punggung mentari senja bayangannya menghilang. Pergi dengan seiring berlalunya waktu. Kembali ke tempat dimana dia seharusnya ada.

Bunda tak sanggup berkata-kata. Air mata menetes dari kedua kelopak matanya. Mengaliri wajah keriputnya. Tak lama, pintu ruangan terbuka perlahan. Sesosok laki-laki melangkah masuk. Baru sekarang dia berani mengatakannya. Setelah menunggu beberapa lama. Setelah disadari bahwa Bunda berbicara dengan Angel.

“Maaf, bunda. Ketika akan kubuka pintu, kudengar Bunda sedang bicara dengan seseorang. Jadi kubiarkan saja. Tapi ketika kusadari bahwa yang berbicara dengan Bunda adalah Angel, kucoba melihat. Dan ternyata dugaanku benar. Hanya Bunda yang bisa merasakan.” Ujar laki-laki muda itu. Masih dengan seragam putih abu-abunya.

“Ada apa kau kemari?” jawab Bunda singkat. Mungkin masih sedikit sadar dengan kata-kata lelaki itu.

“Sepertinya hari ini akan ada Angel kedua.” Ujarnya penuh ketenangan. Seolah tak ada apa-apa.

“Maksudmu?” tanya Bunda dengan penuh penasaran.

Tanpa berkata apa-apa lelaki itu berlalu keluar ruangan. Mengajak Bunda mengikutinya. Dibelakang langkahnya Bunda mengejar.

Ruang tamunya kini telah berubah menjadi aula. Dengan orang-orang terdekat di sekelilingnya. Bersama linangan air mata mereka. Dan isak tangis yang memenuhi rumahnya. Rumah duka. Ditengah-tengah ruangan, sesosok perempuan terbujur kaku tak bernyawa. Dengan perut yang sedikit membuncit.

“Jessi...” lirih Bunda. Merasa mengingkari janjinya pada Angel, dia terjatuh tak sadarkan diri.

Diluar, langit senja semakin menjadi. Dan mentari tinggal separuh yang tampak. Sesosok bayangan berlari mengejar mentari. Menuju balik punggungnya. Mengejar bayangan Angel yang terlebih dahulu tiba. Terdengar jerit suara yang melirih.

“Kak Angel... tunggu aku..!” hingga bayangannya menghilang dibalik punggung mentari.***


Jombang, 30 Mei 2011


by : MeLh ^^




#CERPEN

KARENA INI SEMUA MEMANG TAKDIRKU

Namaku Fadhil. Aku adalah seorang remaja 14 th yang biasa memakai kaca mata minus. Kini aku hanya tinggal bersama ibu dan adikku di sebuah desa terpencil. Hidup kami tak seindah dulu ketika ayah masih bisa menemani kami semua disini. Itu semua berawal dari sebuah kecelakaan maut yang menimpa keluarga kami 5 tahun silam.. namun, dalam hati aku masih yakin, itu semua bukan kecelakaan murni. Mungkin memang ada seseorang yang ingin mencelakakan keluargaku.. bisikku dalam hati. Malam ini aku terlarut dalam kenangan 5 tahun yang lalu itu…

_ _ _

Sang mentari pun menebar kilauan cahaya hangatnya, menyapa bunga2 yang mekar dengan lembutnya, kubuka tirai kelambu kamarku, kurasakan hangatnya sinar mentari yang merasuk tubuhku. Kicauan burung pun ikut menyambut pagi yang cerah ini. Tapi, semuanya tak akan mungkin bisa mengembalikan sesuatu yang telah tiada..

Sehari-hari aku sudah terbiasa membantu ibuku menjaga sebuah warung kecil dipinggir jalan. Itu semua kami lakukan untuk menyambung hidup. Meskipun itu sedikit mengganggu waktu belajarku, tapi aku masih bisa membagi waktu. Memang, kalau bukan kami, siapa lagi yang akan menjadi tulang punggung keluarga.. setelah ayah kami pergi.Tapi, kami tetap bersyukur, meskipun hasil yang kami dapatkan tidak sesuai harapan. Kadang kala, ibuku lebih sering menanggung rugi. Ya, ibuku memang orang yang dermawan. Beliau sering bersedekah dengan orang lain.

Satu-satunya warisan yang kuterima dari ayah adalah sepeda buntut berwarna hitam. Sehari-hari aku menggunakannya untuk berangkat ke sekolah. Karena jarak rumahku dengan sekolah lumayan jauh, sekitar 3 Km. Disekolah, aku dikenal sebagai anak yang lumayan pendiam. Memang aku sedikit berubah, semenjak keluargaku mengalami kecelakaan maut itu. Dulu aku selalu ceria, gak suka menyendiri, alias selalu bersosialisasi. Tapi sekarang, semuanya sudah berubah 1800. Aku lebih memilih berdiam diri dan merenung. Teman-teman di sekelilingku pun banyak yang mengkritik tentang perubahanku yang tiba-tiba ini. Namun kukira mereka sudah mengerti yang ada dibenakku.

_ _ _

Panas matahari terasa membakar kulit. Kali ini aku tak langsung menuju warung tempat ibuku berdagang. Ntah mengapa, rasa malas menganggu otakku,tak ada semangat sedikitpun yang muncul di benakku. Mungkin karena aku lebih sering merenung dan mengurung diri, sehingga semangat yang kupendam telah sirna. Aku kembali termenung, sejenak kemudian aku mulai berpikir, buat apa aku merenung, toh semuanya nggak akan bisa ngembalikan masa lalu.. mulai sekarang aku harus berubah..!! aku harus jadi Fadhil yang dulu.. yang ceria, yang bikin orang tua bangga, yang suka hibur orang kalo’ lagi sedih.. tapi, mengapa sekarang malah aku yang butuh hiburan..?!

Aku pun beranjak, dan ku langkahkan kaki ini menuju kamar mandi. Tanpa banyak tingkah, aku langsung mengambil timba bocor yang sudah disediakan dikamar mandi, guna mengambil air disumur untuk berwudhu. Sejurus kemudian, aku pun masuk ke musholla rumah, tempat kami bermunajat dengan yang Maha kuasa. Kukenakan sebuah sajadah usang milik almarhum ayahku, dan mulai menata hati ini untuk benar2 niat akan berubah. Kulaksanakan sholat dzuhur dengan khusyu’. Tekadku sudah bulat, aku ingin kembali seperti dulu. Ya Allah.. kembalikanlah jiwaku yang telah hilang… do’aku dalam sujud.

Selesai sholat, kutata hati ini tuk melaksanakan sujud syukur. Dalam sujud, aku pun menangis.. menginginkan akan hadirnya seorang ayah ditengah-tengah keluarga kami.. dan berharap semua cobaan yang kami lalui itu memberi hikmah yang baik untuk keluarga. Kelopak mataku masih basah oleh linangan air mata yang sekiranya telah lama kutahan. Kutengadahkan kedua tanganku dengan sejuta keyakinan yang membara.. aku tak kuasa menahan haru ketika kucoba menyebut nama almarhum ayahku dalam do’a. Suasana yang hening membuatku semakin larut dalam do’a. Hingga tak terasa, 2 jam telah berlalu.

_ _ _

Malam ini aku enggan sekali untuk tidur. Kubuka kembali album foto keluargaku 6 tahun yang lalu. Dimana ayah masih bisa bercanda tawa dengan kami, melindungi kami dengan gayanya yang sok cool.. beliau juga lucu, sabar menghadapi kami, ramah, suka nolongin orang. Ya itulah kepribadian ayahku. Aku kagum sekali dengan ayah, beliau tidak akan menyerah dan putus asa jika menerima suatu kegagalan. Berbeda denganku, baru gagal sedikit aja udah mengeluh. Ah.. tapi itu kan masa lalu.. “Masa-masa yang indah..”gumamku dengan senyuman. Kubalik lembaran demi lembaran, disana tersimpan sebuah kenangan yang tak kan mungkin kulupakan. Walaupun hanya sedetik. “Lho kok belum tidur, Dhil..?”sela ibuku memecah keheningan malam ini. “Eh Ibu.. buat kaget saya saja. Iya. Saya belum tidur, lagi pengen liat album foto..”jawabku dengan sedikit guyonan. “Kamu masih mikirin ayah ya..?”tanya ibuku menyidik. “Ehm.. ya gimana ndak mikirin bu..? Ayah kan tetap ayah saya sampai kapanpun..”jelasku pada ibu. “Iya.. iya.. ibu ngerti perasaan kamu Dhil. Tapi ibu harap kamu ndak usah terlalu mikirin ayah ya.. ibu yakin kok, ayah sudah tenang disana. Kita bisa bertemu ayah nanti di surga. Do’akan saja ya Dhil.. ”jawab ibuku sedikit terharu. “Iya bu.. do’a saya akan selalu menyertai kita semua. Sekarang saya mau tidur dulu, karena besok harus berangkat pagi-pagi..”kataku, sambil menata selimut yang melingkar di tubuhku. “Iya.. jangan lupa berdo’a dulu Dhil..”pesan ibuku.

Malam ini aku kembali terbangun. Kucoba memejamkan mata, namun tetap saja sia-sia. Susah untuk tidur lagi setelah bangun. “Hupt.. kenapa aku harus bangun malam-malam gini..?”kataku kesal. Tiba-tiba akupun teringat dengan pesan ayah, dari pada nggak ada kerjaan, mendingan kita laksanakan sholat tahajud. Insya Allah hajat kita bisa terkabul, jika kita benar2 memohon dengan sungguh2. Aku segera pergi kekamar mandi. Seketika hawa dinginpun menyergapku. Membuatku jadi menggigil kedinginan. Tapi, tak apalah, nanti badanku pasti juga udah hangat lagi. Kuraih timba dan kujatuhkan kedalam disumur dengan semangat. Rasanya aku sudah menjadi Fadhil yang dulu. Terima kasih Ya Allah.. kau kembalikan jiwaku yang telah hilang.

Selesai wudhu, aku masuk kedalam rumah. Kuambil sajadah usangku dan kugelar diatas lantai kamarku. Dengan perasaan berserah diri, aku memulai sholat tahajudku malam itu. Seusai sholat, akupun kembali larut dalam do’a. Tangis haru dan perasaan senang karena aku sudah kembali seperti dulu seakan-akan membuatku seorang ayah telah datang disini. Kuraih mushaf pemberian ayah dulu yang kini tulisannya mulai memudar. Kumulai dengan membaca ta’awudz dan menata hati. Aku menarik napasku sejenak, dan mulai kulantunkan ayat demi ayat yang kubaca. Kali ini aku membaca surah al-Israa’. Kucermati dan dengan hati-hati, rupanya surah itu menceritakan perjalanan rasul pada malam hari, yang kemudian oleh umat islam disebut dengan Isra’ Mikraj. Tak terasa, sang fajar telah menampakkan dirinya..

_ _ _

“Selamat pagi bu.. selamat pagi dek Nira..”sapaku. “Hemm.. kak Fadhil udah kayak dulu lagi ya..?”pikir adekku. “Ya begitulah dek.. buat apa kakak merenung, toh gak dapat apa2 gini kok..”tukasku. “Betul juga sih..!! hehehe…”balas adekku. “Baguslah Dhil kalau seperti itu.. jangan suka ngelamun lho.. gak baik itu..”sela ibu. “Iya.. ibu benar. Gak baik ngelamun.”kataku menyetujui. “Kira2 teman2 kak Fadhil ntar komentar apa yaa…?”nadanya dengan agak menyindir. “Tauk ah dek.. pokoknya kak Fadhil senang bisa berubah..”jawabku dengan bangga. “Ya sudah, kalau makannya sudah selesai, mending sekarang kalian siap2. Daripada nanti telat. Malah gak boleh masuk kelas. Lagian ibu juga mau pergi ke warung. ”kata ibu kemudian. “Oke bu..!!”jawab kami serempak. Kamipun pamit dengan ibu dan langsung berangkat.

Ditengah perjalanan, tiba-tiba ada suatu kejadian..

Brrrraaakkkk……

“Eh bu’.. kalau mau nyebrang itu hati-hati..!! nggak liat ada sepeda lewat ta..?!! buta atau gimana sih..?!!!”kata penabrak mulai kesal. “Maaf.. saya nggak tau. Sekali lagi maaf..”jawab ibu itu dengan halus. “Maaf…!! Maaf…!! Bisanya cuma maaf..!!”bentak penabrak, setelah itu ia kabur. “Uh.. dasar gak punya perasaan…!! Jelas2 dia sendiri yang nabrak, eh.. malah nyalahin orang lain.”gerutuku kesal. Akupun turun dari sepeda, berniat ingin menolong ibu itu. “Bu.. tidak apa2 kan..?”tanyaku. “Oh.. ndak papa kok nak.” Jawab ibu itu. Aku tahu, sebenarnya ibu itu sedih. Karena semua dagangannya tumpah ke tanah. Tapi dia mencoba untuk tegar. “Sini bu.. biar saya bantu..”kataku, sembari memunguti sayur2an yang jatuh. “Terima kasih nak.. kamu baik sekali.”jawabnya dengan senyum berbinar. “Sama-sama bu.”tukasku. Usai membantu ibu itu, aku langsung kembali ke sepedaku. Kulihat jam tangan yang melingkar ditanganku menunjukkan pukul 06.50 dan itu berarti 10 menit lagi aku bakal telat. Kunaiki sepedaku dan kukayuh secepatnya layaknya kuda kesurupan. Tak kuhiraukan siapapun yang lewat. Pikiranku hanyalah sekolah.. “Oh..aku memang lalai….”gerutuku.

Sesampainya disekolah, untunglah aku belum terlambat. “Fadhil..”teriak Rizky. “Ada apa Ky..?”sahutku. “Gak biasanya kamu hampir terlambat.”katanya. “Iya. Tadi ada sedikit masalah dijalan.”jawabku. “Emangnya ada apa..?”tanyanya penasaran. “Tadi ada orang nabrak tukang sayur, terus aku nolong ibu itu..”kataku menjelaskan. “Owh..kamu emang seperti ayahmu. Suka nolong orang.”pujinya. “Ah.. iya ta..? Terima kasih.”jawabku dengan senyum. Dikelas pun, aku mulai bersosialisasi dengan anak2 yang lain. Dan mereka pun menerimaku dengan senang hati dan akupun jadi lebih serius dalam pelajaran. Ah.. hidup memang indah..

_ _ _

Siangnya, akupun pulang dengan tergesa-gesa. Aku ingin cepat pulang sebab aku sudah janji pada ibu. Aku akan lebih cepat datang ke warung. Setelah tiba dirumah, kulihat rumah masih sepi. Kuucapkan salam tapi tak ada yang menjawab. “hemm.. benar2 sepi. Rupanya tak ada orang. Lho emangnya dek Nira kemana. Biasanya jam segini dia udah dirumah..”pikiranku jadi khawatir sama adikku satu2nya. Aku masuk kedalam rumah.. kupanggil nama dek Nira berkali-kali, tapi tetap saja gak ada jawaban. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu rumahku, “Assalamu ‘alaikum..”kata orang itu. “wa ‘alaikumsalam.. Eh, Rio. Ada apa Yo..?”tanyaku. “Itu.. dek Nira.. di..dia..”katanya terputus. “Kenapa dengan adikku..?”tanyaku mulai penasaran. “Ehm… dia..dia.. ketabrak mobil mas. Sekarang dia dirumah sakit Medika.” jelas Rio. Aku terdiam seribu bahasa. Hatiku hancur mendengar perkataan Rio. Kucoba mencerna setiap kata yang diucapkan Rio. Apakah ini balasan buatku setelah aku merasakan kebahagiaan yang hanya sehari..?? Apakah.. ini semua memang takdirku...??akupun menatap sekelilingku dengan pandangan kosong bercampur bingung…

Jombang, 15 Juni 2010


By : Niedh D'Lovers